urat-urat daging-daging tua keras terasa
mataku tersenyum, matanya menyapa
anak yang pulang disambut mesra.
Tapi matanya, mata yang menatapku
kolam-kolam derita dan pudar bulan pagi
garis-garis putih lesu melingkungi hitam-suram
suatu kelesuan yang tak pernah dipancharkan dulu.
Kelibat senyum matanya masih jua ramah
akan menutup padaku kelesuan hidup sendiri
bagai dalam suratnya dengan kata-kata riang
memintaku pulang menikmati beras baru.
Anak yang pulang disisi ayahnya, maka akulah
merasakan kepedihan yang terchermin dimata
meski kain pelekatnya bersih dalam kesegaran wudhu'
dan ia tidak pernah merasa, sebab derita itu adalah dia.
Mata Ayah
Usman Awang
Oktober 1964.
No comments:
Post a Comment